Jangan Menyerah!
Siang ini,dengan setengah berlari aku bergegas menuju
kampus. Jalan setapak ini merupakan pemisah antara kampus dengan rumah kos ku.
Sebenarnya hari ini hampir semua universitas negeri telah memasuki libur pasca
ujian akhir semester. Hanya mahasiswa yang mengambil semester pendek seperti ku
saja yang masih berkeliaran di sekitar kampus. Aku harus bergegas mengurus
jadwal semester pendekku. Kuliah ini aku lakukan untuk memperbaiki nilai C pada
semester lalu.
Seperti
yang telah ku pikirkan, tak banyak mahasiswa yang datang. Tanpa memperpanjang
waktu, pengumuman-pengumuman yang tertempel di papan itu langsung ku sapu
bersih. ’seminar nasional’, bukan itu
yang ku cari, ‘kehilangan’, juga
bukan ini. ‘pengumuman bagi mahasiswa
yang mengambil SP(Semester Pendek)’,nah, ini dia. Bagi mahasiswa yang tersebut namanya di bawah ini, harap menemui kepala
prodi(program studi), itu penggalan kata yang bisa ku baca dengan jelas,
dan dibawahnya terdapat namaku. Dengan perasaan setengah bingung aku mencoba
menerobos sekelompok mahasiswa yang berdiri di depan ruangan bapak kepala prodi.sebagian
besar mereka telah memasang wajah suntuk dalam barisan itu.
“Kira-kira
kesalahan apa yang telah ku perbuat hingga nama ku tertulis di papan pengumuman
itu?” kalimat itu terus
berputar-putar di kepala ku sambil menunggu antrian di antara
mahasiswa-mahasiswa yang berjubel menunggu giliran. Berangsur-angsur antrian
itu berkurang ,
“ Ah...
terbuang sudah uang ku” Kata itu yang
diucapkan dari salah satu mahasiswa yang keluar dari ruangan. Tibalah giliranku
masuk.
”mahasiswa
yang selanjutnya silahkan masuk..” Suara
dari dalam ruangan semakin membuat ku cemas.
“Siapa nama
anda?” Bapak ketua prodi yang kukenal
humor itu berubah menjadi lebih garang.
“saya Ninda Tri
Utami pak, dari jurusan pendidikan bahasa ingggris tahun 2010.”Aku berusaha bersikap tenang.
“ Oh ya,
disini tercatat bahwa anda telah melakukan kesalahan dalam prosedur pengambilan
kuliah SP pada satu mata kuliah jurusan, ini artinya anda tidak bisa mengikuti
perkulahan ini.”
“tapi pak saya
sudah membayarnya, dan saya juga telah memasukkan mata kuliah itu ke dalam
portal saya. Jika itu memang kesalahan saya, apa tidak ada toleransinya pak?.”aku berusaha melakukan pembelaan.
“ saya tahu, tapi semuanya kan ada prosedurnya, dan anda
telah menyalahinya. Mengenai pembayaran yang telah anda lakukan, itu kesalahan
anda. Seperti yang tertera dalam surat keputusan rektor, uang yang telah di
bayarkan tidak bisa ditarik kembali. Jadi, lain kali anda harus lebih berhati-hati.
Pastikan dulu anda telah mengikuti prosedur dengan benar. Saya rasa sudah cukup
jelas. Jika tak ada masalah lain, anda boleh keluar. Mahasiswa selanjutnya
silahkan masuk...”
Aku keluar dengan langkah gontai. Jadi aku tak bisa memperbaiki
nilai ku? Perasaan kacau berkecamuk di kepala ku. Butiran air yang masih hangat
mengalir dari sudut mata ku. Rasanya hati ku perih bak tersayat sembilu. Ku
tenangkan diri ku di atas kursi besi di depan jurusan yang sebagian besar badan
kursi itu telah di duduki oleh sejejeran
mahasiswa. Mereka tengah bercengkrama, ku perhatikan mereka sejenak. Semakin
perih hati ku melihat mereka tergelak terkekeh-kekeh dengan sendau gurau riuh
sesamanya. Tampaknya mereka begitu bahagia, mereka seperti tak ada beban. Pikiran
ku menerawang jauh, dua hari yang lalu adik ku mengabarkan bahwa ibuku tengah
sakit. Mereka menyuruh ku untuk segera pulang. Namun, jika aku pulang, aku
tidak akan bisa balik lagi sampai semester baru dimulai. Perjalanan Padang-Lampung
memakan waktu 48 jam. Pulang dengan membawa beberapa nilai C akan membuat aku
resah di sepanjang jalan. Untuk itu, aku berusaha menjelaskan sebaik mungkin
untuk diberi izin lebih lama lagi di kota Padang ini.
Akhirnya, aku di beri izin untuk mengambil SP. Untuk
membayar uang kuliah ini aku mengorbankan banyak hal. Aku bekerja di sebuah
catering, tak jauh dari rumah kosku sebagai pelayan jika ada pesanan untuk
pernikahan. Biasanya untuk kerja dari pukul 7 pagi hingga pukul 8 malamnya aku
mendapatkan gaji lima puluh ribu rupiah. Setelah itu, tak bisa dikatakan lagi
letihnya tubuh. Belum lagi beban mental yang kami tanggung. Tak jarang
orang-orang memandang kami rendah sebagai pegawai catering. Bahkan, kami sering
mendapat hinaan dari pemesan yang merasa tidak puas dengan layanan kami. Itu
aku lakukan setiap akhir pekan. Hanya keluarga dan cita-cita saja yang
menyemangati aku untuk tetap terus bertahan disisni.
Untuk mengejar biaya kuliah SP ini, aku harus bekerja
extra. Aku harus mengorbankan waktu tidur ku. Aku ikut membantu memasak hingga
pukul 2 malam. Subuhnya aku juga harus siap untuk terjun kelokasi pesta sebagai
pelayan hidangan hingga malamnya lagi. Tulang dibadanku sudah tak terasa lagi.
Letih yang tak terkira tak lagi ku hiraukan. Tapi sebagai manusia biasa, tentu
aku mempunyai keterbatasan. Aku tidak bisa memaksakan lagi tenaga ku. Hasilnya,
caci-maki itu keluar juga dari pihak pemesan yang merasa tidak puas dengan
layananku waktu itu “ mengapa saja kerja
mu? Dasar tak punya otak!” ya Rabbh.. begitu besarnya cobaan ini. Jika saja
aku dikaruniai kedua orang tua yang sehat dan harta yang cukup, mungkin aku
tidak harus merasakan kepedihan ini.
“Astaghfirullah..”. ampuni hamba ya Allah.. kuatkan hamba.. jangan biarkan
hamba menentang takdir dan terjatuh dalam kekufuran...
Semakin deras air mata ku berjatuhan. Dan kini aku
merelakan begitu saja uang yang telah susah payah ku dapat kan tanpa hasil? Aku
yakin bapak itu punya hati, aku akan mencoba sekali lagi. Aku berdiri dari
kursi besi itu dan berbalik menuju barisan segerombolan mahasiswa tadi. Aku
sengaja berdiri di barisan paling akhir karena aku tak mau yang lainnya
terganggu karena aksi protes ku. Kurang lebih sejam aku mematung di depan
ruangan bapak kepala prodi, akhirnya tibalah waktunya. Aku berusaha setenang mungkin
“ Permisi pak,
saya ninda”
“Ya, ada
keperluan apa lagi?” bapak itu mencoba
memahami ku.
“ Maaf pak, untuk masalah
ini saya tidak bisa menerima pak, mungkin bagi teman-teman yang lain itu hal biasa,
mereka bisa mendapatkan uang itu dari orang tua mereka dengan gampang. Tapi
tidak bagi saya pak. Saya mendapatkan uang itu denga susah payah bercucuran
keringat pak. Saya direndahkan dan di caci maki...” aku hilang kendali,
semua terucap begitu saja, mata ku berkaca-kaca dan tak terbendung lagi. Usaha
untuk tenang tidak lagi bekerja. Bapak itu tercengang mendengar ucapan ku, raut
wajahnya berangsur lunak. Aku berusaha mengendalikan diri ku lagi setelah bapak
itu mengambil alih pembicaraan “Maaf,
mungkin ini tidak ada hubungannya dengan mata kuliah yang anda ambil, tapi ini
ada hubungannya dengan hasil akademis anda, bisa anda ceritakan lebih jelasnya
tentang masalah anda?” Seprtinya aku menangkap sinyal keingintahuan dari
pertanyaan bapak itu. Sudah kepalang basah, ku ceritakan semuanya, tentang keadaan
orang tua ku yang sakit, aku yang bekerja sambil mengirimi orang tua uang,
tentang keluarga ku yang akhirnya pindah dan terpaksa meninggalkan ku sendiri
disini untuk melanjutkan kuliah, dan tentang kerja sambilan di catering untuk
biaya sehari-hari. Akhirnya bapak itu luluh. Beliau mengacungkan jempol atas
perjuangan ku.
“Banyak mahasiswa yang punya kesempatan tapi
menyia-nyia kannya, namun, ananda, dengan segala keterbatasan ananda, ananda
mampu memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Saya bangga mempunyai
mahasiswa seperti ananda.” Itu kata-kata
terbaik yang aku dapatkan dari beliau. Dengan senyum yang berat bapak itu
mengabulkan kuliah SP ku. Syukur tak terkira terbesit saat bapak itu
mengizinkan aku masuk kuliah. Seandainya aku tidak malu, mungkin aku sudah
melompat-lompat saking senangnya. Tapi aku harus control. Terimakasih bapak
kepala prodi.
Aku tahu, jika tidak begini, aku tak akan bisa melangkah
sejauh ini. Rasanya sudah begitu banyak kepedihan yang tergores untuk menuju ke
tempat ini. Kilas balik perjuanganku hingga menuju Universitas Negeri Padang
kembali membayang. Dari mulai Sekolah Dasar, aku tinggal kelas, bangkit, lalu
menjadi juara kelas. Masuk Sekolah Menengah, aku memegang kejuaraan olimpiade
kabupaten. Dan untuk meneruskan kejenjang pendidikan selanjutnya aku
mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah di sebuah sekolah Bersejarah, SMA
INS Kayutanam. Dimasa ini, aku juga menemukan kesulitan. Dari empat orang teman
se-SMPku, hanya aku yang tidak diterima, padahal boleh di katakan mutu akademis
ku lebih tinggi dari mereka. Hanya saja dompet mereka lebih tebal dari ku.
Karena keberanian dan keinginan yang sungguh-sungguh juga aku bisa diterima. Ku
datangi kantor kepala dinas untuk berbicara langsung dengan bapak kepalanya.
Melihat kesungguhanku hati siapa yang tak luluh. Sejak saat itu, tak ada lagi
di kamusku kata ‘tak mungkin’.
Kala itu yang ku tahu aku hanya memiliki sebuah
cita-cita, ‘jadi seorang dokter’. Seiring waktu, aku bisa mengerti, cita-cita
itu tak dapat ku gapai. Aku sadar dengan keadaanku. Tapi aku tidak menyerah,
tidak bisa masuk ke fakultas kedokteran bukan berati aku gagal mewujudkan
cita-cita ku. Tanpa tahu darimana nanti aku memperoleh biaya perkuliahan, aku
melakukan pendaftaran ulang. Aku lulus di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Biaya itu didapatkan orang tua ku dari menjual apa yang bisa dijual, dan
meminjam kesana-kemari. Sekarang, ini lah mimpi ku. Bagiku, menjadi seorang
guru jauh lebih sukses dari pada menjadi seorang dokter. Sederhananya, aku bisa
mewujudkan banyak cita-cita dari calon-calon dokter dari siswa-siswa yang aku
didik kelak.
Aku tak pernah menyesal lulus di jurusan ini. Justru, aku
sangat bersyukur. Meskipun harus berpisah dengan keluarga dan bekerja keras
untuk meneruskannya, aku tetap bersyukur. “jalan
akan selalu ada untuk orang yang mau berusaha” itu kata-kata yang selalu
menguatkanku saat aku mulai letih. Sekarang aku telah menjadi mahasiswa
semester empat. Jika dulu aku membayangkan kuliah harus punya banyak uang, maka
aku tidak akan pernah bisa duduk di depan jurusan ini. Allah telah menyusun
rencana yang indah di setiap usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Penulis: INDAH PERMATA SARI, mahasiswa jurusan pendidikan
bahasa inggris Universitas Negeri Padang, Padang, 23 Juni 2012.( Terinspirasi dari kisah ku sendiri)